Novel Online My Love Destiny Secret Admirer
Novel Online My Love Destiny |
Cahaya pagi memasuki kamar Dita, melalui sela korden berwarna merah muda. Putri mulai membuka mata. Dia melirik ke arah jendela, lalu susah payah melihat angka yang tertera di ponsel pintarnya. Berulang kali, Putri mengucek mata, karena tak bisa melihat secara jelas. Pukul setengah dua belas. Siang! Astaga! Putri segera beranjak dari tempat tidur, dan berjalan menghampiri lemari. Dia mencari baju dan bergegas ke kamar mandi. Sementara, Dita masih terlelap dengan lipatan mata begitu tebal, akibat menangis semalam. Mereka memang begadang hingga dini hari.
–
Putri bergeming, menatap sahabatnya yang masih pulas itu. Pikirannya dipenuhi segala macam hal. Putri masih tak percaya dengan apa yang dia dengar. Ingatannya begitu jelas. Jantung seakan berpacu kian cepat, akibat amarah yang langsung meletup, saat kembali teringat. Bagaimana mungkin Gilang, bisa bersikap demikian?
Gilang keterlaluan sekali. Apa ini yang dinamakan dengan cinta? Meninggalkan kekasih tanpa penjelasan. Apalagi sebelumnya tak ada masalah di antara keduanya. Jelas tak adil, tapi apa yang bisa dia perbuat? Bagaimana pun juga, menggantung hubungan tanpa kepastian, tetap tak bisa dibenarkan. Isak tangis Dita semalam, juga telah menggambarkan kegundahan akan status dia sekarang. Dia tidak tahu, apakah dia seorang single atau masih memiliki pacar.
Dita tak tahu, kapan Gilang akan kembali, atau memang akan meninggalkan dirinya dalam kesendirian hingga nanti? Entah, lanjut atau akan berhenti.
Putri masih memandangi Dita yang masih terpejam matanya. Keraguan untuk membangunkan, menyeruak. Dilematis juga. Putri sebenarnya, masih ingin menemani. Apalagi, perempuan satu ini sedang dalam kondisi patah hati. Sayang, Riris, asisten yang bekerja di butik, mengingatkan kalau ada beberapa pertemuan dengan kliennya.
Hari ini ada juga yang akan fitting baju. Siapa lagi, kalau bukan calon pengantin yang ingin memesan baju keramat itu. Baju yang merupakan salah satu impian untuk dipakai olehnya, kelak. Siapa juga yang mau melamarnya? Pasangan saja belum ada. Bagaimana mau memakai. Pikiran mulai melantur kemana-mana. Persiapan yang dilakukan Putri juga sudah jauh-jauh hari, jadi mudah untuknya, menyempatkan diri mendengarkan curhatan Dita semalam suntuk.
“Dita….”
Putri memanggil pelan, beberapa kali. Dita terbangun dengan mata menyipit, dikarenakan rasa kantuk yang masih menyerang, akibat begadang. Ada perasaan plong, setelah mengatakan beban di hatinya. Tak ada yang dia tutupi. Termasuk air mata yang membasahi kedua pipi.
Dita mengedip-ngedipkan mata. Terasa ada yang tebal di kelopak mata. Dia segera mencondongkan tubuh ke arah cermin rias, yang menempel di dinding, tepat di samping tempat tidur. Bengkak dan sembab. Mulut Dita mengerucut seketika. Sementara Putri hanya tersenyum geli, melihat kelakuan sahabat perempuan yang sedang patah hati itu. Dita mendengus kesal, saat mengetahui respon partner in crime di hadapannya.
“Jangan meledekku, seperti itu.” kata Dita memelas.
“Hari ini, aku ada janji dengan distributor buku, di kantornya.”
Putri semakin mengumbar senyum dan menggelengkan kepala. “Siapa yang meledek?”
Mata Dita kembali menekuri mata yang membengkak akibat menangis semalaman. Apa yang harus dia lakukan, agar tidak seperti ini? Putri lalu menggeser posisi duduknya, agar lebih dekat dengan Dita. Matanya membesar saat mengamati mata Dita, dari jarak dekat.
“Coba, kamu kompres dengan mentimun.”
Putri kemudian beranjak dari duduk, untuk mendekati lemari es, tanpa menghiraukan ekspresi tanda tanya dari Dita. Hanya tubuh bagian belakang, yang terlihat dari tempat Dita duduk. Tak berapa lama, Putri kembali, dan duduk di samping, dengan tangan memegang mentimun segar dan dingin. Putri sudah memotong mentimun, menjadi beberapa bagian. Tangan Putri memberi kode, agar Dita merebahkan tubuhnya. Dita menurutinya, dan memejamkan mata. Segar, itu yang dirasakan Dita, ketika potongan mentimun, telah berada di atas kedua mata. Dita merasa nyaman dan santai.
“Orang pasti mengira, aku menangis semalaman.” keluh Dita. Matanya masih terpejam. Sesekali tangan kanan, menekan-nekan mentimun itu.
“Lho, memang benar kan?” seloroh Putri tanpa empati sedikit pun. Dia selalu bicara apa adanya. Padahal sedikit kata penghiburan, sudah cukup membuat hati senang. Rutuk Dita dalam hati. Kalau saja Putri bukan kawan baik, sudah habis dia, dengan kata pedas andalan Dita kalau sedang marah. Gadis bermata sembab itu tersenyum geli.
“Aku pulang dulu ya, mau ke butik.”
Dita segera bangun dari posisi rebahan, dan duduk di tepi tempat tidur.
“Kalau ada apa-apa, hubungi aku saja ya.” lanjut Putri. Dita hanya bisa mengangguk. Kelihatannya Putri juga enggan beranjak meninggalkan Dita, yang sedang patah hati. Tapi, bagaimana lagi?
“Riris tadi menelepon?”
Putri menggeleng. “Tadi dia BBM, mengingatkan kalau ada pertemuan dengan beberapa klien.”
Putri segera berdiri dan meraih tas kecil berwarna perak yang menggantung di sandaran kursi.
“Biasa, musim nikah, Dit. Banyak sekali orang yang memesan dibuatkan baju pengantin, dan ada beberapa yang akan fitting juga.” lanjut Putri seraya melangkah keluar kamar. Jemarinya sibuk menggulirkan daftar telepon ke bawah.
“Halo Ris. Gimana? Kliennya udah datang belum? Berapa? Oh, oke. Aku on the way ya.”
Putri menutup teleponnya. Dita tiba-tiba teringat sesuatu.
“Hey!” teriaknya. Putri menoleh ke arahnya, sambil mengelus dada akibat terkejut. Dilihatnya, mulut Dita sedang menganga.
“Kenapa?”
“Bareng aku sekalian saja.”
Putri masih terdiam dengan menatap Dita. “Aku ke penerbit. Bukannya searah?”
“Kenapa tidak dari tadi? Aku bisa menunggu lima belas menit.” gerutu Putri.
“Sorry, lupa.” Dita terkekeh.
–
Sedan milik Dita menepi di depan butik Putri. Terlihat jelas dari dalam mobil, aktivitas orang- orang yang berada di butik tersebut. Ada yang melihat semacam album foto berisi rancangan karya Putri.
Gaun yang menempel di tubuh manekin cantik dan sempurna, juga tak luput dari perhatian beberapa klien. Mereka seperti sedang berdiskusi dan membandingkan gaun satu dengan yang lainnya. Mereka datang dengan pasangannya. Memang seharusnya begitu. Pernikahan melibatkan dua manusia, juga keluarga. Kedua pihak harus datang mengurus kelengkapan keperluan pernikahan.
“Iri ya….” bisik Putri cukup mengejutkan. “Aku juga iri. Kadang suka mikir, kapan aku nikah.”
“Sudah sana! Ramai banget tuh!” dagu Dita mengarah ke butik. Sementara Putri mendengus pelan, nampak malas sekali.
“Ga bagus, manyun seperti itu. Ingat, rejeki lho.”
Dita tersenyum puas, saat bisa menceramahi Putri.
“Siap!” ucap Putri dengan senyum yang dipaksakan. “Jujur, terkadang aku ingin bersantai sejenak.”
“Hei, harusnya kamu bersyukur, masih diberi rejeki melalui mereka.”
Senyum Putri mengembang dan dibuat semanis mungkin. Kakinya segera menapak di tanah, lalu menutup pintu mobil. Dita menatap punggung Putri yang terus menjauh. Putri menoleh dan melambaikan tangannya.
–
Butik Putri memang tak begitu jauh dari kantor distributor buku. Hanya satu kilometer. Dita hanya menempuhnya dalam waktu lima belas menit, kadang lebih sedikit. Dita bersyukur tinggal di kota Yogya yang tak begitu macet. Kalau pun macet, hanya di jam tertentu. Seperti jam berangkat sekolah atau kantor, begitu juga sebaliknya.
Kantor distributor buku yang Dita jual, bercat hijau dan berlantai dua, telah berada di hadapan. Dita segera memarkir kendaraan roda empat, ke pelataran parkir, yang cukup memuat delapan mobil ini. Tumben, parkiran kosong hari ini, tak ada mobil satu pun. Kalau motor karyawan kebanyakan terparkir di dalam gudang.
Tangan Dita meraih tas bahu berwarna merah muda, berukuran besar, dan mengalungkan di bahunya. Kali ini, dia sengaja mengambil pesanan buku, langsung ke kantor. Sales yang biasa mengantar buku ke rumah, sedang berhalangan, dia ada tugas, mengantar ke luar kota. Kalau Dita nekat menunggu pesanannya diantar oleh sales Andra, tentu akan memakan waktu lama. Empat hari lagi. Padahal semua pembeli sudah membayar lunas ke rekening, dan sudah dijanjikan akan dikirim dua hari lagi. Sesuai jadwal.
Baru beberapa langkah dari sedan, Dita berpapasan dengan Rita salah satu admin disini. Dia yang biasa membantu mengurusi pemesanan buku melalui email. Hubungan mereka juga terbilang dekat, karena sering berinteraksi. Wanita yang usianya hanya selisih enam tahun lebih tua dari Dita itu kemudian mendekat.
“Siang Mbak Dita….” sapa Rita. Dita menyambutnya dengan senyuman.
“Wah berasa disambut nih, Mbak Rita.” seloroh Dita.
“Iya nih, penyambutan juragan buku….” timpal Rita.
Keduanya terkekeh dan memasuki ruang tamu, tempat biasanya. Dita melakukan transaksi dan cek ricek jumlah dan judul buku. Tak butuh waktu lama, ada Anto karyawan bagian gudang membantu membawakan tiga kardus besar, berisi buku pesanan dari pembeli toko buku online milik Dita. Ketiga kardus itu muat juga di dalam bagasi. Awalnya Dita sangsi.
“Makasih mbak, mas. Aku pulang dulu ya. Monggo.”
“Monggo.” ucap Rita dan Anto berbarengan.
–
Dita mengangkat tiga kardus itu sendirian, sesampainya di rumah. Kardus yang berisi buku baru, pesanan dan stok itu, diletakkan di sudut kamar yang juga berfungsi sebagai kantor onlinenya. Dita mengusap peluh keringat yang mengalir, dan menarik nafas lega. Ternyata berat juga. Ketiga kardus berukuran besar tadi, sengaja diletakkan sejajar, agar mudah untuk dirobek selotip yang terekat kuat di kardus.
Tangannya meraih cutter yang berada di atas etalase, yang dipergunakan untuk menyimpan semua buku yang dijual.
Krek!!!
Cutter itu berhasil merobek selotip yang merekat diantara penutup kardus. Dita tak sabar ingin segera melihat buku dalam kardus. Dengan cekatan, dia memisahkan buku-buku tersebut sesuai orderan. Menuliskan daftar orderan di nota, sesuai judul buku dan nama pembeli.
Tak butuh waktu lama, masuk ke dalam amplop yang ada stiker nama dan alamat lengkap serta nomor telepon selular pembeli. Semua dikerjakan dengan cepat dan rapi. Ini pekerjaan yang sudah dilakukan oleh Dita, selama dua tahun terakhir. Paket buku siap kirim itu, ditaruh di meja kerja. Besuk pagi, kurir ekspedisi langganan Dita akan datang mengambil ke rumah.
“Yup! Selesai!”
Dita menarik kedua ujung bibir, terseyum lebar. Dita senang menjalani pekerjaan ini, sebagai pemilik toko buku online. Hasil kerja kerasnya dua tahun ini, juga telah membuahkan hasil. Paling tidak, dalam sehari, tujuh sampai delapan paket, berisi empat hingga sepuluh buku per paket bisa dia kirimkan. Uang juga tinggal ditransfer ke rekeningnya. Dita bisa mengurus pembeli dimana saja, melalui gadget. Tapi, jangan dianggap mengelola toko buku online, semudah membalikkan telapak tangan. Dita butuh kerja keras, hingga bisa seperti sekarang.
Kedua mata Dita tak lepas memandang tumpukan paket, dengan perasaan puas. Tak apa dianggap pengangguran oleh sebagian orang. Yang penting, saldo dalam rekeningnya tak pernah kosong. Lelah, kalau menanggapi dengan menjelaskan panjang lebar, mengenai pekerjaannya.
Ting!!!!
Ada nada pesan BBM masuk. Dita segera meraih telepon pintar yang tergeletak di atas meja. Pesan singkat dari calon pembeli yang menanyakan beberapa judul buku. Setelah usai menjawab. Dita melihat Facebook, Twitter dan update blog toko onlinenya. Saat melihat wall Facebook, matanya menangkap ada satu notifikasi permintaan pertemanan.
Bintang Pradana.
Tangannya menggeser krusor dan mengarahkannya pada nama Bintang Pradana, untuk melihat info tentang bersangkutan. Kebiasaan yang sering dilakukan Dita, setiap ada permintaan teman di Facebook. Karena dia tidak ingin terlibat dengan orang yang tak jelas atau istilahnya fake. Terkadang, dia menemukan ada beberapa akun yang tak memaparkan identitasnya. Bahkan menggunakan identitas lain.
Bintang, editor dan pemilik sebuah penerbit. Hmm, menarik. Lho, ini beberapa buku terbitannya kan? Termasuk dalam daftar buku buku laris. Dita sering mendapati beberapa judul buku terbitannya yang ada dalam rak buku laris sebuah jaringan toko buku. Keningnya mengerut, ada yang coba dia ingat. Kalau tidak salah, Dita juga memiliki beberapa judul buku, untuk koleksi pribadi.
Belum sempat meletakkan telepon pintar, ada pesan BBM masuk. Lagi- lagi, nama Bintang, mengundang Dita untuk menjadi teman di BBM. Dita segera menerima undangan dari Bintang, sambil menerka apakah ini orang yang sama dengan di Facebook.
Ternyata benar dugaan Dita, lelaki itu orang yang sama, dengan yang ada di Facebook. Terlihat dari foto profil BBM.
“Terima kasih ya, sudah dikonfirmasi. Salam kenal.”
Pesan BBM masuk, dari Bintang. Cepat sekali Bintang mengirim pesan. Kalau boleh jujur, Dita sebenarnya malas menanggapi. Dia lebih senang meladeni pesanan untuk pembelian buku. Jempol Dita mengetikkan sederet kalimat balasan. Dua jarinya bergerak lincah di atas keypad ponsel pintarnya.
“Sama-sama. Salam kenal dari saya, pemilik toko buku online.”
Dita tak terburu-buru mengirim pesan yang telah terketik. Dia membaca kembali kalimat. Memastikan bahwa kalimat yang dia tulis tak mengundang balasan dari Bintang. Oke, kirim sekarang.
Pesan terkirim.
Dita kemudian meletakkan ponsel pintar di meja, sudah waktunya mandi agar terasa segar. Tak sampai lima menit, bbm kembali berbunyi. Dita kembali melongok telepon genggamnya, dan melihat ada pesan baru. Bintang. Balasan dalam bentuk autotext.
“Boleh tidak, buku terbitan Bintang Press dijual di toko buku Mbak Dita?”
Dita membaca berulang kali bbm tersebut….
“Boleh….”
Sengaja dia membalas dengan satu kata. Pesan telah terkirim, namun tak ada balasan dari Bintang.
Hening.
Ya, keheningan yang ada. Dita merasa bingung, kenapa dia harus menunggu balasan dari Bintang, Lelaki yang belum dikenalnya itu. Dita mengganti status BBM dengan tanda sibuk dan mengetikkan sederet kata, Menulis dulu ya. Simpan. Selesai.
Beberapa menit kemudian, Bintang mengirimkan pesan kembali.
“Selamat menulis. Semoga berkenan menerbitkan di Bintang Press ya.”
Seulas senyum mengembang dari kedua sudut bibir Dita. Ada sesuatu yang hangat mengaliri relung jiwa.
“Boleh saja. Kenapa tidak?”
Dita lupa, kalau dia sudah berniat hendak menulis naskah novelnya yang baru dua bab. Outline telah tersusun rapi di samping netbuk. Dia memang cukup lama melupakan naskahnya beberapa minggu. Patah hati membuatnya tak bisa berpikir jernih. Bahkan menulis novel ternyata tak semudah bayangan. Dia tak bisa sekenanya menulis. Buktinya, ide di kepala justru mampat.
Nada BBM masuk kembali berbunyi.
“Ehm, serius tawarannya?”
“Saya serius….”
“Saya belum menerbitkan buku satu pun. Kalau artikel, mungkin sudah lumayan banyak.”
“Nah! Setidaknya saya tahu, Mbak Dita sudah sering menulis. Jadi, saya tahu, Mbak Dita memiliki kapasitas untuk itu. Kapan-kapan kita bisa bertemu untuk ngobrolin ini?”
Dita mengetikkan pesan balasan dan pergi ke tempat tidur untuk rebahan. Pesan terkirim.
“Terima kasih atas tawarannya. Saya merasa tersanjung.”
Dita merasa tak yakin dengan tawaran Bintang, “Serius? Kapan?”
“Silakan Mbak Dita yang menentukan waktu dan tempatnya. Saya pasti datang.”
Dita terperangah menatap obrolan antara mereka berdua. Ini yang menawari, editor sekaligus pemilik penerbitan, yang terbitannya selalu ada di rak buku laris. Ah, ada- ada saja, batin Dita seraya tersenyum masam. Lebih baik dia meneruskan menyunting naskah novel ini saja. Masih butuh beberapa halaman lagi. Novel memang memerlukan nafas yang panjang, untuk menyelesaikan. Mata dan jemarinya pun mulai sibuk.
–
Bintang masih menunggu balasan dari Dita. Semenit. Dua menit. Dua puluh menit.
Satu jam telah berlalu. Astaga bodohnya. Baru saja terhubung di BBM saja sudah berharap lebih, rutuk Bintang. Sudut bibir kanan tertarik ke atas. Tak ada kesempatan untuk memulai perbincangan. Pria berbadan tegap itu menimang-nimang ponsel pintar berwarna hitam itu. Dia berpikir langkah selanjutnya, untuk mengajak bicara Dita. Nihil. Pikirannya sekarang buntu. Bintang terkekeh sendiri, ketika teringat kekonyolan yang sedang dia lakukan sekarang.
Tiga jam.
Tak ada apa-apa. Tak ada yang terjadi. Tak ada pesan masuk dari Dita. Mungkin dia sedang sibuk menulis novelnya? Iya, dia kan sedang menulis novel. Jadi akses ke semua messenger dan sosial media akan dia matikan terlebih dulu.
Ponsel andalannya itu kemudian dimasukkan ke dalam tas. Sudahlah, lebih baik tidur saja, pikir Bintang. Besuk masih banyak pekerjaan yang menumpuk. Sekali lagi, Bintang meneliti isi tasnya, apa ada yang belum masuk. Dia kawatir kalau ada barang penting yang tertinggal. Akan menghambat pekerjaannya. Seandainya Bintang sudah memiliki istri, tentu tidak akan serepot ini. Pasti ada yang akan mengingatkannya tiap hari.
–
Dita membolak balik badan ke kanan, lalu ke kiri. Begitu terus menerus. Dia kemudian memutar, seperti hendak mengelilingi tempat tidur. Sesekali, Dita melirik ponselnya. Tak ada pesan masuk. Ini sudah tiga jam, sejak bbm Bintang terakhir. Pipi Dita bersemu merah, ketika Dia baru tersadar akan tingkahnya sendiri. Tak seharusnya menunggu, untuk apa? Kemudian, dia menarik selimut menutupi tubuhnya dan terpejam.