Aku memiliki tiga anak lelaki. Salah satunya sudah remaja. Sudah sekolah menengah atas. Sampai sekarang dia tidak menunjukkan menyukai seseorang. Bahkan dia tidak cerita sedang suka siapa. Apakah dia menutupi hal itu dari aku ibunya?
Oia, mungkin ada yang belum tahu. Kalau ketiga anak ini sangat dekat denganku. Mereka sudah terbiasa cerita apa pun tanpa terkecuali. Apa pun. Aku memang menekankan pada mereka untuk bercerita kepadaku ketimbang dengan orang lain.
Alasannya tentu saja karena orang lain belum tentu bisa dipercaya. Cerita mereka bisa sampai kemana-mana. Sementara bercerita pada ibunya ini. Ceritanya hanya akan berhenti di aku. Aku akan menyimpannya dengan sangat baik.
Alasan kedua lainnya adalah karena orang lain bisa memiliki dua hal berbeda. Bisa saja ada kemungkinan memberikan nasehat tapi menjerumuskan. Kedua, mereka bisa menyebarkan ceritanya kemana-mana.
Hal itulah yang membuat mereka cerita. Aku juga berjanji tidak akan marah. Mau seseram, sedih, memalukan apa ceritanya. Dan aku menepatinya.
Bahkan saat anak pertamaku masuk ke sekolah menengah pertama beberapa tahun yang lalu. Banyak sekali anak perempuan mengirimkan surat, chat, kado, dll.
Masih ingat benar saat anakku hanya membalas chat mereka dengan sangat lugas. Aku terkekeh. Ya ya ya. Ini sih aminya banget. Oia, anak memanggilku ami sejak kecil.
Contoh kecil aja ya. Sebut saja nama anakku L dan temannya C.
“Hai, L.”
“Siapa?”
“Aku C. Salam kenal ya.”
“Ya.”
Lalu tak ada interaksi lagi. Hahaha.
Berbeda kalau dia mengirim atau membalas chat aminya ini. Disertai emoticon. Hahaha.
Pernah dia menunjukkan surat, ucapan, hadiah dari perempuan yang tak sedikit jumlahnya di sekolah. Jujur, aku simpan kecuali makanan dan minuman.
Awalnya anakku menolak bahkan pernah dengan polosnya mengatakan kalau, “Ini apa ya?”
Tentu saja saat anak perempuan menyodorkan jajanan atau bingkisan kecil.
Dia bingung mau menerima atau tidak. Walau akhirnya dia memutuskan menerima. Ya, dengan berdiskusi denganku.
Tapi aku selalu bilang untuk tetap berhati-hati dalam menerima makanan.
Pernah ada chat. Oia, chat anakku memang masih dalam pengawasan. Tujuannya agar aku bisa tahu apakah anak ini sudah baik dalam menggunakan ponselnya. Karena sebagai orangtua tidak boleh lengah soal anaknya. Alhamdulillah anakku baik-baik saja. Dia sangat bertanggung jawab dalam menggunakan ponselnya.
Termasuk saat berinteraksi dengan guru. Cara dia membalas dan mengirimkan chat juga kuperhatikan. Alhamdulillah dia sangat baik soal itu. Tak ada masalah. Termasuk sopan dan sangat tertata.
Bahkan aku pernah membaca chat dari kakak kelasnya. Oia, mereka yang suka anakku itu sampai ke adik dan kakak kelasnya.
“L, kamu punya pacar ga?”
“Ga.”
“Kenapa?”
“Gpp.”
“Kok bisa?”
“Nanti dimarahin ibuku.”
Lalu chat terputus dan aku tertawa terbahak-bahak. Padahal aku tidak pernah mengatakan hal itu. Hanya saja. Kalau masih sekolah lebih baik fokus belajar.
Bahkan saat anakku sudah SMA. Dia masih saja sama. Tidak peduli soal pacaran. Bahkan ada beberapa temannya ada yang chat ke dia soal teman sekelasnya yang perempuan. Dia pun hanya sebatas membantu. Tak lebih dan tak bukan.
Suatu saat aku iseng bertanya. Memang kami biasa ngobrol apa saja. Bercanda juga.
“Kak, ada yang kamu taksir?”
atau pernah nanya,
“Itu cantik ga?”, saat ada anak sebayanya di sekolah. Kalau tidak salah saat daftar ulang.
Dia tak merespon. Hanya senyum saja.
Lalu, akhirnya dia menjawab. Sebenarnya pengulangan dari SMP.
“Aku pacarannya pas udah kerja mi. Atau pas mau menikah saja. Cari uang dulu.”
Aku terbelalak dan tersenyum.
“Wah, begitu ya?”
Dia mengangguk.
“Bagus. Lebih baik fokus sekolah dulu. Nanti kalau pacaran malah ganggu pelajaran. Berantem, nilai jadi jelek.”, ujarku kemudian.
“Lagi pula, ami dulu juga tidak pacaran pas sekolah. Padahal yang deketin ami banyak.”, katanya.
Dulu ada tetangga yang cerita. Hahaha…. Jadi malu aminya.
—–
Disclaimer ya, aku tak pernah menuntut anak-anakku harus mendapat nilai sempurna. Tetapi aku selalu mengatakan pada mereka. Untuk naik kelas atau ke jenjang selanjutnya itu butuh nilai. Ya begitulah. Kalau belajar semaksimal mungkin, hasilnya tidak akan pernah mengkhianati. Alhamdulillah, nilai mereka tak mengecewakan. Nilai kimia dan matematika hampir 10. Bangga? Iyaaaa, temannya tidak mencapai nilai itu.
——
Aku memang selalu bilang ke anak-anakku dari dulu. Kalian ini lelaki. Kelak punya anak istri. Tak mungkin kalian akan memberikan seadanya atau tidak memberi. Ami akan malu sama besan. Mereka sudah mempercayakan anaknya sama kalian. Kalau ada cerita dari istri kalian yang tidak enak. Kalian yang akan ami marahin. Ingat, kalau ada apa-apa. Ami akan apa? Mereka menjawab, dicoret dari KK.
Jadi, aku selalu menekankan bahwa anak harus mandiri secara finansial. Punya penghasilan yang sangat cukup untuk membiayai kehidupannya kelak. Keluarga kecilnya juga.
Jangan hidup aneh-aneh. Jangan salah pilih jalan kehidupan, pasangan, dll. Alhamdulillah anak-anakku hidup lurus meski tetap menikmati masa mudanya dengan sangat baik. Karena aku selalu bilang, menikmati hidup dengan baik tak harus dengan cara yang aneh. Alhamdulillah….