Kali ini aku akan cerita tentang anak-anakku lagi ya. Bagaimana aku menjaga mereka dengan sepenuh hati saat masih kecil. Bukan berarti ketika mereka sudah besar, tidak kujaga lagi. Masih. Hanya saja kali ini konteksnya adalah saat masih kecil. Mengingat banyaknya pemberitaan kali ini yang semakin membuatku kelelahan teramat sangat. Apakah itu? Tentu saja seputar anak-anak yang meninggal saat masih muda. Ya, bisa karena melemahnya pengawasan apapun itu. Jujur ini adalah tugas semua orang yang berada di sekitarnya. Bukan hanya tugas ibu kandungnya saja. Namun kali ini aku akan menceritakan semuanya ya. Berikut beberapa hal yang aku pendam.
Aku masih ingat dengan jelas ketika ada seorang ibu yang mengucapkan kalimat yang intinya begini. Anak itu jangan terlalu diawasin terus menerus. Ada yang berupa ucapan saja. Namun ada juga yang berasal dari teguran halus bertujuan mengingatkan karena anaknya mengucapkan AN***G. Aku tak sanggup untuk mengetikkan secara lengkap. Karena aku sendiri punya prinsip untuk tidak mengucapkannya. Dia justru membela diri karena itu pengaruh dari anak-anak RT sebelah. Lantas aku bilang kalau memang dari anak sebelah. Itu tidak akan pernah terjadi kalau anaknya diajari dan dididik untuk tidak mengucapkan. Anakku contohnya. Dulu saat tinggal sementara (ketika menunggu rumah jadi) di perumahan yang cukup banyak penduduknya. Ada juga yang suka misuh. Belum lagi di sekolahannya. Alhamdulillah anak-anak tidak menirunya. Mereka tidak misuh sama sekali. Kok bisa tahu? Karena teman-temannya yang cerita. Orang lain pun banyak yang bercerita. Sampai bertanya bagaimana cara mendidik anak sampai tidak ikut melakukan hal buruk. Padahal mereka ini notabene anak laki. Aku pun menyampaikan hal ini ke orang itu. Dalam hatiku, duh aku malas banget seperti ini. Tapi aku tidak suka ada anak yang bisa kebablasan misuh di waktu besarnya. Lebih ke kasihan ke anaknya.
Padahal hanya dari kalimat, “Mbak, putranya jenengan tadi ngomong guguk ke anakku sama anaknya A.”
Malah responnya jadi merembet kemana-mana. Dia membela diri. Meski akhirnya terdiam mendengarkan. Tetap alasannya keluar lagi. Lantas aku bilang saja. Kalau anaknya A yang ngajarin misuh, kenapa anaknya kaget? Malah bilang tidak boleh ngomong kaya gitu. Sudah tidak alasan lagi. Kata mama, kamu dan suamimu juga sering ngomong hewan depan anakmu. Mama lantas bingung serba salah. Dia pamit pulang dan ngomong tak beraturan di teras. Ingin aku lanjutkan. Tapi aku berpikir sebaiknya tidak. Hanya saja di kemudian hari aku menyesal kenapa tidak aku lanjutkan lagi. Bagi yang tidak tahu duduk permasalahannya. Pasti akan diambil bagian belakang. Atau diputarbalikkan. Karena menurut cerita sudah banyak yang mendatanginya karena permasalahan itu.
Tak butuh waktu lama (mungkin beberapa bulan kemudian), aku mendengar dia teriak-teriak ke anak orang lain. Suaranya sampai ke rumah. Lalu dia bilang ke salah satu tetangga rumah di kota lain. “Benar kan pak? Anak harus dijaga, kalau tidak akan kebablasan.”
Sepertinya dia sedang melindungi anaknya. Dan membentak anak-anak lainnya. Apa responku? Aku tertawa terkekeh. Kemarin mengatakans seperti itu. Sekarang akhirnya melakukan apa yang aku lakukan ke anak-anakku. Menjaga agar anak tidak terkontaminasi pengaruh buruk dari anak lainnya.
Sementara aku kalau ada yang menyampaikan hal tidak baik dan itu memang berdasar. Aku pasti akan menerima dan meminta maaf. Udah. Itu lebih dari cukup. Pastinya tidak akan mengulangi lagi. Permasalahan yang ada adalah masalah yang ada justru tidak pernah dimulai anakku. Kapan-kapan aku akan cerita tentang fitnahan yang dilontarkan ke anakku. Akibatnya sangat tidak menyenangkan. Sementara aku sempat minta maaf tapi karena ada kecurigaan. Akhirnya aku investigasi sendiri. Kalau aku cerita di sini akan menjadi sangatlah panjang.
Ada satu kalimat yang menarik keluar dari perempuan itu. Ibu yang kutegur karena anaknya misuh. “Kalau saya anak tidak pernah tak awasin. Nanti malah jadi anak manja, tidak mandiri, dll. Biarin saja main. Bla bla bla….”
“Karena tidak diawasin sampai bisa ngomong hewan ya? Lalu menyalah anak orang lain? Kalau saya, anak sekecil itu masih butuh pengawasan. Kalau ada apa-apa dengan anak itu, tidak masalah besar ya? Kasihan anak kecil sudah pandai misuh. Mengawasi anak itu tidak buruk. Kita tidak pernah tahu lho berapa menit ke depan. Mengawasi anak itu termasuk sekalian mendidik apa yang seharusnya mereka lakukan. Bla bla bla.”
Lalu hal lain yang aku ingin soroti adalah fenomena anak yang keluar masuk rumah tetangga atau siapa pun. Waktu anakku masih kecil aku memang mengajarkan anak untuk bermain sebatas teras saja. Tidak lebih. Aku tidak memperbolehkan dia masuk ke area privat seperti kamar tidur. Lalu meloncat di sana. Tidak. Itu adalah hal privasi. Dan mereka tahu benar bagaimana susahnya kalau sprei kotor dan berantakan. Jadi, mereka tidak melakukannya. Bagaimana aku akhirnya tahu anakku tetap berada di teras temannya saat bermain? Karena ada ayah temannya yang datang ke aku. Melapor
“Gimana sih anaknya.”
“Gimana maksudnya?”, aku sudah deg-degan. Ada apa ini, pikirku?
“Putranya jenengan kok ga mau masuk kamar sih? Padahal gpp lho main loncat-loncatan di kasur.”
“Oalah itu memang aku didik buat main sebatas di teras. Itu kan ruang privasi, dll.”
“Ya, gpp menurutku.”
“Mereka tahu benar kalau seprei dan sarung bantal guling kotor. Bahkan berantakan. Mereka harus membereskan.”
Ya, aku memang mendidiknya demikian. Eh, kebetulan sekali. Ada berita masuk ke beranda media sosialku. Tak hanya satu dua berita yang hampir mirip. Pemerkosaan pada anak di bawah umur. Pelakunya orang terdekat, tetangga, dan bahkan masih ada hubungan darah. Bukannya kita menganggap orang lain itu membahayakan. Tapi itu bukti bahwa kita tetap harus waspada pada siapa pun. Itu bukan masalah.
Pernah juga aku waktu itu dapat tetangga yang dengan santainya anak main ke rumah. Tetapi dia tak mencarinya. Ini fakta. Sebenarnya aku tidak masalah kalau ada anak main. Anakku sendiri juga kuperbolehkan untuk main ke rumah tetangga. Tetapi bukan yang begini caranya. Bermain sampai lama. Seperti datang ke rumah pada jam istirahat. Apalagi anak juga memiliki jam istirahat. Berupa tidur siang.
Sementara saat aku mendatangi rumahnya karena kebutuhan anak tersebut. Dia duduk santai di sofa dan menonton televisi. Sementara saya dan anak-anak seperti mennaga anaknya. Kalau sekali dua kali tak masalah. Kalau hampir setiap hari? Tentu akan sangat mengganggu. Kami juga butuh privasu agar bisa leluasa bergerak di rumah.
Walhasil di kemudian hari aku dan anak-anak membuat alasan agar anak tersebut tidak selalu datang ke rumah. Tak apa sebenarnya asal tahu tempat dan waktu. Anaknya juga diajarin. Bahkan banyak hal yang aku ajarin anak ini. Anak tidak bisa dilepas begitu saja. Nanti salah-salah kami yang bakal disalahkan. Sepertinya ini saja dulu. Nanti aku tulis di beda artikel saja.
Semoga postingan ini bisa diambil pesan moralnya ya. Intinya jaga benar anak dengan baik. Didik mereka. Jangan sampai lepas pengawasan bahkan saat mereka masih kecil hingga remaja. Peduli amat dengan perkataan orang lain. Kalau ada apa-apa pada anak. Toh pada akhirnya yang menyesal ya kita sendiri. Bukan orang lain.