Blog referensi wanita
Bagaimana Cara Mengambil Hati Pelanggan
Bianca jenuh, dia ingin membuang kejenuhannya dengan bepergian dengan anak-anaknya. Dia memutuskan menggunakan transportasi umum. Tujuan sudah dia tentukan. Kebetulan dia juga memiliki keperluan disana.
Perjalanan yang memakan waktu, sekaligus membawa serta kedua buah hatinya tentu bukan perkara mudah. Mungkin karena biasa, dan dia senang melakukan, jadi tidak terasa. Apalagi banyak orang baik yang menolong dia dan anak-anak.
Akhirnya dia sampai di tempat yang dituju, sejauh ini menyenangkan. Dia bisa menyelesaikan pekerjaannya, dan anak-anak pun merasa nyaman. Kebetulan pula, pegawai di tempat tersebut menawarkan mainan yang tersedia. Bianca tersenyum dan sempat memuji dalam hati, cara tempat itu hendak mengambil hati anak-anak. Anak-anaknya pun senang.
Meski dia bekerja, Bianca tak pernah absen mengawasi anak-anaknya. Waktu yang dia perlukan untuk menyelesaikan pekerjaannya hanya dua jam. Padahal dia berangkat dari rumahnya jam sembilan pagi, dan ternyata kereta sudah berangkat. Mereka bertiga menunggu dua jam untuk kereta berikutnya. Belum berjalan kaki dari stasiun ke halte bus, dan ternyata salah jurusan. Bianca naik becak menuju halte berikutnya yang jaraknya lebih jauh. Anak bungsu yang mulai mengantuk dan bus belum juga datang. Bahkan mereka harus berputar terlebih dahulu sebelum akhirnya sampai halte yang berdekatan dengan tempat tujuan. Dia turun dan sempat berjalan kaki beberapa meter, dengan menggendong si kecil. Hingga ada yang menawarkan ojek. Itu kenapa dia harus menghemat waktu dan tenaganya, karena setelah selesai, dia dan kedua anaknya akan memulai perjalanan melelahkan lagi, pulang ke kota mereka berdua.
Keasikan dan kenyamanan Bianca terganggu. Ada lelaki datang membuka pintu dan langsung mengomel tanpa henti. Apalagi bukan karena kedua buah hatinya. Lelaki itu terus mengomel, dan menyuruh kedua anak-anaknya, perihal letak mainan, dan menyuruh mereka dengan intonasi yang cukup membuat semua yang berada disitu menoleh. Padahal orang lain tidak merasa keberatan, karena mereka maklum.
Hati ibu mana yang meradang? Meski mungkin niatnya baik, caranya sangatlah salah. Kalau bukan karena memandang seseorang, mungkin Bianca melepaskan kemarahan yang akan disesali lelaki tersebut.
Dia pun meminta anaknya untuk melepaskan mainan dan memberikan mainan yang Bianca bawa dari rumah, yang tadi sudah dipegang anak-anaknya setiba mereka di tempat itu. Dia menjelaskan ke anaknya, untuk bermain dengan mainannya sendiri saja seperti sesaat sampai disana. Bianca meminta anaknya dengan baik. Kalau saja tidak karena ditawari pegawai disitu, anak-anak juga tak menyentuh. Bianca diam, tangannya gemetar, sakit hati. Padahal dia berbelanja ratusan ribu disitu. Bisa saja Bianca pergi dan mengurungkan niatnya berbelanja.
Lelaki itu mencoba menerangkan kembali situasi yang menurutnya benar. Namun Bianca memilih diam, dia terlalu lelah untuk menanggapi. Dia pura-pura tak mendengar dan terus asyik menyelesaikan pekerjaannya, dan sesekali memperhatikan anaknya.
Bianca baru saja sembuh dari sakitnya, selama dua minggu meringkuk di tempat tidur, kelelahan, dan mulai menghemat waktu dan tenaganya, apalagi perjalanan yang baru saja dia tempuh untuk datang ke tempat tersebut sudah cukup menyita. Belum lagi, selesai dari situ, langsung pulang ke rumahnya. Dia dan kedua anaknya hanya dua jam disitu. Andai pegawai disitu tak menawarkan ke anak-anaknya juga tak akan menyentuh. Anak-anaknya yang terbilang disiplin seusai bermain akan mengembalikan mainannya. Anak yang selalu meringankan pekerjaan Bianca. Mereka yang selalu mengerti Bianca. Beribu andai beterbangan di benak Bianca. Seharusnya dia segera membalikkan ucapan lelaki itu. Andai dan andai. Hingga Bianca memyadari sesuatu, lelaki itu sudah menangkap kemarahannya yang tertahan.
_______
Untuk cerita Bianca. Bagi setiap ibu yang memiliki putra, atau orang yang mengetahui betapa sibuk dan menyita waktu dan tenaga, bekerja dengan mengurus langsung anak-anaknya, pasti akan mengerti. Maka kenapa, selalu saja kita akan mendengar, sudah biarkan saja, namanya juga anak-anak. Atau sudah tidak apa-apa nanti saya bersihkan, namanya juga anak-anak.
Pegawai salah satu buku ternama, rumah makan, dll. Mereka selalu melayani anak-anak pembeli atau calon konsumen mereka dengan baik. Zig Ziglar pun demikian. Merebut hati anak-anak agar orang tuanya jadi tersentuh, dll.
Saat buku di toko buku berantakan dan berjatuhan, pegawai tidak lantas datang dan memerintahkan pembeli atau anak-anak untuk membereskan dan mengembalikan buku ke rak. Tidak. Mereka justru dengan sigap datang dan membereskan. Meski pembeli pun ikut membantu. Saya sering melihat sendiri kejadiannya. Alhamdulillah anak-anak saya sangatlah pandai, dan tahu tempat.
Pernah suatu hari, ada kejadian, ada anak yang tanpa sengaja menjatuhkan es krim di lantai. Pemilik rumah makan, tidak langsung menghampiri dan mengomel dan memerintah ” Ayo bersihkan es krimnya, nanti akan bla bla bla.”
Tapi yang terjadi adalah, mereka akan bilang dengan santun, senyum ramah mengatakan, ” Sudah, adek duduk dulu ya, kami akan membersihkan.”
Pemakluman adalah hal yang sering dilekatkan untuk anak-anak. Kalau mereka benar, tentu bukan anak-anak, tetapi dewasa.
Bahkan ketika saya kedatangan tamu dengan anak-anak. Saya dengan sigap membersihkan dan membereskan. Tak peduli orang tuanya minta maaf dan ikut membereskan. “Sudah, namanya anak-anak, gak apa apa. Duduk saja ya.”
Bukan lantas memerintah dan mengomel, ” Hayo, siapa ini yang mengotori lantai? Siapa yang berantakin mainan? Jangan diberantakin mainannya ayo bawa kesini, main disini saja. Taruh disini, dll.”
Pelayanan tak hanya soal lip service di blog atau web. Pelayanan meliputi semua. Apa yang ada dicalon pembeli dan siapa yang bersamanya, meski itu anak-anak. Pelayanan juga mewajibkan penjual tersenyum manis dan ramah, bukan semberut, dan melimpahkan tugasnya ke pegawai yang lain.
Sekarang, Anda akan memilih mendengar kalimat yang mana? ^_^
Semoga terinspirasi ya.