Mungkin ada sebagian orang yang tergelitik dengan pertanyaan ini. Apakah benar pernikahan kedua akan menjamin kehidupan yang bahagia dunia akhirat?
Ini akan berbeda setiap orang ya. Tak semua akan mengalami hal yang sama. Bahkan ada yang justru jauh lebih trauma.
Kalau berdasarkan pemikiranku, pernikahan itu seperti gambling. Bagaimana tidak. Mau seperti apa kita memilih dan memilah. Ternyata ujungnya ada aja ujiannya. Ujian salah pilih. Jadi, berhenti mengatakan perempuan bodoh, dll. Padahal kenyataannya. Ada yang kaya raya, cerdas, dll. Ternyata? Ada yang miskin dan jelek? Ternyata? Tak ada jaminan.
Maka bisa dibilang pernikahan berikutnya pun tidak jaminan akan indah. Karena ya dari awal sudah seperti gambling (bahasa kasarnya). Perempuannya menjaga benar pernikahannya. Tetapi pasangannya tidak. Padahal secara bobot, bibit, dan bebet perempuan ini pun tak main-main. Latar belakang deretan lelaki yang mendekatinya juga sangat berbobot, dll.
Kalau ada orang yang mengatakan tidak mau menikah lagi. Normalisasi saja. Bukan dengan mengatakan, “Awas, nanti nikah lagi lho.”
“Ndak usah bilang begitu. Tapi nanti malah nikah. Malu.”
Jujur aku suka bingung dengan orang seperti itu. Kenapa memang? Kalau iya ada penulis atau siapa pun yang kemudian nikah lagi setelah bilang tidak mau menikah. Ya biarkan saja. Positif thinking aja dia sudah menemukan pasangan yang tepat. Doakan yang baik. Lucunya mereka yang bilang di atas justru mengenakan simbol agama. Tapi hatinya kotor.
Kalau ada yang tidak ingin menikah lagi. Ya biarkan saja. Memang orang di luar dia ini membantu kehidupannya? Punya andil? Tidak, kan? Resiko toh diambil dia.
Bisa jadi karena dia tak mau mengkhianati suaminya?
Kedua, bisa jadi trauma yang luar biasa hebatnya. Baginya lelaki adalah hama atau kutu yang hanya akan merusak kehidupannya saja.
Ya biarkan saja. Aku sendiri setiap ada orang berkata begitu. Ya, akan berpikir hal yang sama. Kalau dia menikah lagi. Aku menganggapnya pilihan sendiri. Bahkan aku kagum. Ada orang yang bisa memutuskan bercerai dan menikah lagi. Bahkan beberapa kali. Karena tak semua orang bisa. Bukan karena apa-apa. Untuk yang mendakwa orang-orang ini pun, sebaiknya baca atau dengarkan pendapat psikologi. Ada ilmunya juga.
Lagi pula kebanyakan orang tak peduli kok. Meski ada yang baik dan peduli sama mereka. Tetapi saat ada kejadian tak mengenakkan. Seperti KDRT, dll. Rumah terdekat pun tak akan datang menghampiri untuk mengulurkan tangan. Bahkan ada yang segera mematikan lampu dan menutup jendela. Seolah tak mendengar teriakan minta tolong yang begitu keras.
Oia, kali ini tulisanku terasa loncat-loncat. Tapi aku yakin yang membaca tetaplah paham maksudku. Pesanku tetap sampai.
Aku menulis untuk mengurai dan melepaskan kalimat yang berjejal di kepala. Kalau ingin menulis ya menulis. Kalau ingin share pengalaman di bidang sosial media, dll. Ya aku tulis. Semudah itu.