Saya publish novel ini dalam bentuk novel online. Semoga teman-teman yang membaca berkenan memberi komentar yang membuat saya semakin bersemangat menulis. Tentu komentar yang membangun. ☺
———————————————————————————————–
Dita terkejut melihat bayangan yang berkelebat, di hadapannya, baru saja. Persendian kaki mulai terasa melemas. Dia menutup mulut yang menganga, menggunakan kedua telapak tangan, sementara mata justru melebar. Dia segera berdiri dan mengejar dengan langkah kecil. Mengikuti bayangan yang melangkah keluar kedai cokelat favoritnya.
Sayangnya, bayangan itu terlepas dari pandangan. Bayangan yang menyerupai sosok pria tegap, yang tak asing baginya. Dita termangu dari tempatnya berdiri, menatap satu persatu orang yang hilir mudik di sekelilingnya. Mereka terlihat sibuk dengan dunia masing-masing.
Seolah tak peduli dengan gadis usia dua puluhan, yang sedang berdiri di depan pintu kafe. Mata Dita telah membesar dan mengecil demi menyapu semua orang yang berlalu lalang tersebut. Nihil! Bayangan lelaki itu tak tertangkap pandangannya. Dia, seperti seseorang. Hingga ada yang menepuk pundaknya, pelan.
“Mbak.”
Dita lantas menoleh ke belakang. Berdiri
seorang lelaki muda dan terbilang menarik yang mengenakan celemek. Terpasang name tag bertuliskan Andra di dada kirinya. Tangannya mengulurkan tas selempang milik Dita yang tertinggal di bangku. Rupanya Andra mengira Dita hendak meninggalkan kedai. Memang sekarang tak bisa sembarangan meninggalkan barang, kalau tidak, bisa diambil orang yang berniat membawa lari.
“Maaf, ini tas Mbak, tertinggal di dalam.”
Seulas senyum, menghias wajah oval pramusaji bernama Andra itu. Dita lalu membalas senyuman itu seraya meraih tas tersebut. Tas itu kemudian sudah berpindah ke bahu Dita.
“Terima kasih. Maaf merepotkan.”
“Tidak apa-apa.” jawab pramusaji itu disertai senyuman. “Permisi.”
Dita menganggukan kepala. Andra membalikkan badan dan bergegas menuju dapur Kedai Cokelat. Kepalanya lalu celingukan melongok ke dalam ruangan kedai. Matanya menangkap tempat duduk favoritnya masih kosong. Ia segera mengayunkan langkah. Dita sejenak lupa tentang sekelebat bayangan sesosok pria tadi.
Kursi dengan sandaran empuk itu, bersebelahan dengan jendela kaca, yang panjang menjuntai, dari langit- langit hingga ke lantai. Posisinya juga begitu nyaman, di sudut kedai. Privasinya juga terjaga. Dita bisa melihat dengan leluasa, pemandangan menjelang sore, di luar kedai. Termasuk semburat jingga, yang nampak di langit sore. Matanya terpaku, terpukau.
Milkshake coklat dan sepotong Eclaire sus yang berisi butter cream dan dilumuri coklat- yang dipesannya daritadi masih utuh di atas meja. Dita lalu meletakkan tas berwarna coklat yang tergantung di lengannya, di atas kursi yang menempel di jendela. Tangan kanannya mengambil segelas Milkshake dan menyeruputnya pelan.
Isi dalam gelas tinggal separuh, ketika diletakkan kembali di atas meja. Dita menghela nafas panjang. Masih ada ganjalan di dalam hatinya. Ada rasa penasaran yang begitu kuat, di benak Dita. Dia kembali teringat dengan bayangan tadi. Benarkah itu tadi, adalah Gilang? Kekasih mm menghilang tanpa kabar? Atau apakah ini, hanyalah halusinasi karena terlalu memikirkan dia? Bukan! Dita menggelengkan cepat.
Kilau Anindita mengamati orang yang berlalu lalang di sepanjang trotoar. Mereka terlihat sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak ubah dengan dirinya sendiri. Dia begitu sibuk dengan ribuan pertanyaan yang dibuat sendiri. Semua masih berhubungan dengan Gilang. Dita menganggap ada yang hilang dalam hidupnya. Tak ada lagi perhatian yang biasa dilakukan oleh Gilang.
Biasanya, saat jam makan siang, mereka berdua menghabiskan waktu bersama. Mereka berdua akan menghabiskan waktu bersama. Entah di kedai ini, sambil menikmati sajian yang telah dipesan. Sekedar mengobrol ditemani teh hangat. Pergi ke toko buku atau duduk di taman sambil berkisah tentang mereka. Terkadang sepulang kantor, Gilang mengajak bertemu kembali, hanya untuk mendengar cerita Dita secara langsung. Dia hanya menanggapi semua cerita Dita dengan tatapan penuh kekaguman. Seulas senyum manis juga terlihat di wajah Gilang.
Kalau ada film baru, tak segan mereka langsung ke bioskop. Mereka berdua benar-benar di mabuk kepayang. Tanpa sungkan Gilang akan memijit pundak Dita, kalau melihat perempuan itu terlihat kelelahan setelah mengurus keperluan toko buku online miliknya. Jika Dita sakit, Gilang akan berusaha untuk menemaninya, membawakan makanan kesukaan, dan menjadi sangat cerewet.
Perhatiannya begitu berlebihan di mata Dita. Dia pernah menyuruh Gilang jangan terlalu bersikap begini. Tidak boleh?. Itu pasti jawaban yang akan meluncur dari bibir tipismu. Bukan begitu. Aku menjadi begitu bergantung padamu. Rasanya tidak mengenakkan kalau sampai tak bertemu kamu. Alasan itu akan dilontarkan Dita, yang disambut dengan derai tawa Gilang. Tangannya akan mengusap rambut Dita yang sebahu dengan lembut.
“Aku memang mau, kamu bergantung denganku. Agar orang lain tak akan bisa merebut hatimu.”
Matamu akan mengerling dan membuat Dita tersipu seketika. Penjelasannya seolah membuat skak mat. Dita tak bisa membalasnya. Karena hatinya langsung dipenuhi bunga.
Dita kembali dari lamunannya. Kenangan manis dengan Gilang, selalu berhasil membuat konsentrasinya buyar seketika. Tak mengenal waktu dan tempat. Ini menyiksa, dan sangat mengganggu pekerjaannya mengelola toko buku online, bukudita.com. Bahkan saat sedang menulis naskah novel seperti sekarang ini.
Ada saja yang mampu mengalihkan perhatiannya, untuk memikirkan Gilang. Minuman kesukaan Gilang. Aroma parfum favorit Gilang. Postur tubuh dan tingkah yang serupa dengan Gilang. Apalagi? Sudut kota yang dia kunjungi. Semua tempat memiliki cerita tentang mereka.
Sampai detik ini, Dita tak habis mengerti kenapa Gilang menghilang. Tanpa jejak, tanpa kabar. Gilang tak bisa dihubungi. Akun sosial media miliknya juga tak bisa diakses oleh Dita. Apa Gilang memblokirnya? Nomer telepon tidak aktif. Rumah yang ditinggali Gilang kosong.
Teman- teman kantor juga seolah bersekongkol, sepakat mengatakan tidak mengetahui keberadaan Gilang. Mereka yang ditemui Dita, melontarkan kalimat yang menohok. Kenapa kekasihnya sendiri tidak tahu Gilang dimana? Dita malu, karena kalimat tersebut menyakiti indra pendengaran, melukai hati. Hubungan selama dua tahu itu, seolah tidak ada arti apa- apa untuk Gilang.
Dita meraih kembali gelas berisi Milkshake yang tinggal separuh tersebut, lalu menyeruput isinya pelan. Jemarinyha memainkan serutan berwarna putih, ke kiri dan kanan. Mata Dita melihat ke sekeliling. Pengunjung di ruangan kedai ini tak seramai akhir pekan. Hanya ada beberapa pengunjung yang datang. Ada dua orang yang tengah duduk di dekat pintu masuk kedai. Mereka duduk berhadapan, tanpa peduli ada yang memperhatikan atau tidak. Kedua tangan saling bertaut dengan tatapan begitu hangat. Perempuan itu terlihat bersikap semanis mungkin, agar sang pria terkesan.
Sementara di meja lain, terletak berdekatan dengan kasir, berkumpul tiga remaja yang terlibat pembicaraan seru. Derai tawa sering terdengar di antara percakapan mereka. Tak jauh dari mereka bertiga ada yang memiliki nasih seperti Dita. Sendirian. Orang itu duduk dengan posisi membelakangi Dita, menghadap ke tembok. Dia seolah menikmati kesendirian dengan membaca buku dalam pegangannya. Sesekali ujung jempol dan telunjuk jari memutar terlinga cangkir.
Uap nampak mengepul keluar dari lubang cangkir. Itu pasti berisi cokelat hangat. Kebiasaan memutar cangkir itu seperti dia kenal. Gilang Baskoro. Tapi, Dita yakin, itu bukan lelaki yang tega meninggalkan tanpa kabar itu. Mana mungki, dia berani duduk dengan begitu nyaman di Kedai Cokelat yang sering mereka kunjungi berdua. Apalagi kedai ini merupakan tempat favorit Dita. Peluang pertemuan, tentu lebih besar terjadi. Gilang pasti tak seceroboh itu, setelah berhasil menghilang. Dita merutuki dirinya sendiri. Halusinasinya begitu parah.
Ting!!!
Pesan singkat di Blackberry, berbunyi nyaring. Menyadarkan Dita ke dunia nyata. Dita tersentak, karena terlalu serius mengamati pengunjung kedai dan hanyut dengan pikiran tentang Gilang. Dita segera membuka pesan singkat tersebut.
“Sis, buku Menepi Tanpamu. Ada?”
Ekspresi wajah Dita langsung berubah masam. Harapannya tadi, pesan singkat tersebut berasal dari Gilang. Ternyata bukan. Kedua jempol Dita dengan lincahnya mengetikkan balasan, dan terkirim. Beberapa saat Dita membalas sms tadi. Begitulah kalau memiliki toko online, dia bisa membalas sms darimana saja, dan saldo rekening pun bertambah.
Dita memutar Blackberry, pikirannya kembali berkecamuk. Sekarang pukul tiga sore, dam semua pesan singkat yang masuk berasal dari pembeli buku. Satu sisi hatinya senang, namun di sisi lain, ada perasaan sakit yang menekan disini. Dita ingat betul kejadian sebulan lalu, ketika terbangun dengan ponsel yang masih dalam genggamannya. Dengan mata masih menyipit, dia segera memeriksa apakah ada panggilan atau pesan singkat dari Gilang.
Dia kawatir, kalau Gilang telah memberikan ucapan selamat ulang tahun. Tadi malam, Dita terus menunggu. Menanti dengan penuh keyakinan bahwa Gilang akan datang dan memberi kejutan untuknya. Dita menduga bahwa Gilang memang sengaja menghilang dan membuatnya resah, karena ingin memberikan kejutan di hari ulang tahunnya.
Harapannya tak bersisa, mengetahui tak ada satu pun panggilan dan pesan singkat yang terkirim kepadanya. Matanya mendadak perih dan keduanya mulai berkaca- kaca. Tak bisa dia tahan, perasaan kecewa yang ada telah menusuk. Dita kembalo menyesap Milkshake yang tinggal sedikit, hingga tandas.
Warna langit telah berganti lembayung. Orang yang hilir mudik di luar kedai semakin bertambah. Lampu sepanjang jalan dan rumah di seberang, satu per satu mulai menyala. Namun dia enggan pulang. Toh mama juga sedang tidak ada di rumah. Ada acara keluarga. Dita tak ikut, beralasan ada acara lain. Tak enak, berkumpul dengan keluarga, dengan hati yang tak keruan ini. Dita menekan keypad ponsel pintarnya, dan….
“Halo, Putri? Kamu bisa datang ke kedai?” tanya Dita setelah telepon tersambung.
“Halo, aku bisa. Ini aku sedang di toko kain, kira-kira setengah jam lagi aku kesana.”
Ada suara riuh di balik suara Putri yang melengking.
“Gimana? Sorry, hectic banget nih.”
Iya, aku tunggu! Santai aja.”
“Oke.”
Dita menaruh ponsel di meja, setelah menutup telepon.
Senyum manis mengembang. Putri akan datang. Sahabat sejak SMA itu akan meluangkan waktu bersama, setelah beberapa waktu tak bertemu. Pekerjaan Putri sebagai desainer baju pengantin, memang menyita waktunya. Untuk bulan ini ada lima belas pesanan desain yang harus dikerjakan secara berdekatan waktunya.
Kesibukan yang sangat berbeda dengan Dita, yang pemilik toko buku online. Dia memiliki kebebasan atas waktu. Bisa mengerjakan pekerjaannya dimana saja dan kapan pun. Kadang kalau dia kangen, Dita akan datang ke butik milik Putri. Itu pun jarang. Bahkan Dita belum cerita soal Gilang.
Sebenarnya Putri sudah merasakan ada yang tidak beres dengan ketidakhadiran Gilang beberapa kali. Dia sering menanyakan kabar Gilang. Apalagi saat ulang tahun Dita, juga tak menampakkan hidungnya. Hanya ada Putri saja. Dita hanya menjawab, kalau lelaki yang ditanya, sedang sibuk. Putri sempat tidak percaya, sesibuk-sibuknya Gilang, akan selalu ada waktu untuk Dita. Akhirnya dia bisa memberikan alasan yang membuat Putri berhenti bertanya.
Keyakinannya perihal Gilang yang akan kembali begitu kuat. Entah kapan itu akan terjadi. Sekarang saja Dita tak bisa menghubunginya sama sekali. Tidak berhenti berharap, itu saja yang bisa dia lakukan. Ada keinginan agar Gilang akan datang, menyesali yang telah dia lakukan. Menghilang. Menunggu keajaiban. Siapa tahu Tuhan akan memberikan itu.
Dita ingin berterus terang kepada Putri, mengenai Gilang. Dia terus menyimpan perasaan tidak enak. Itu yang membuatnya sangat tidak nyaman. Selama ini, apa pun dia ceritakan kepada Putri, begitu juga sebaliknya. Entah apa reaksi yang akan terlihat dari raut muka Putri, setelah mendengar semua cerita. Dita juga tidak tahu, apa yang akan Putri lakukan nanti, marah atau justru mendiamkan. Ehm, atau memberikan penghiburan? Pikiran Dita sibuk dengan segala perkiraan.
“Hai!” teriak Putri. Teriakannya membuat Dita terlonjak karena terkejut.
“Melamun ya!”
Mata genit Putri berkejap-kejap, menggoda Dita yang tengah melamun, saat dia datang.
Dita hanya bisa tersenyum mendengar godaan itu. Terbersit keraguan di hari Dita. Sebaiknya, cerita atau tidak ya? Degup jantungnya pun semakin berpacu, melihat Putri yang sudah duduk di sofa panjang, berhadapan dengan posisi duduk Dita.
Putri melirik Dita yang nampak duduk dengan gelisah.
Aku daritadi melihat kamu, melihat luar jendela. Tapi tak tahu, kalau aku lewat. ujar Putri sambil lalu. Dia segera melambaikan tangan, tatkala melihat pelayan kedai melihat ke arahnya. Pelayan itu segera menghampiri, dengan membawa daftar menu yang disajikan oleh Kedai Cokelat.
Dita berusaha mengatur nafasnya, dan mulai menyusun cerita itu secara urut. Sementara Putri masih menyusuri daftar menu. Lama. Itu membuat Dita semakin tak keruan perasaannya, termasuk rasa malu yang menggerogoti hati.
Baginya, seorang wanita yang ditinggal lelaki begitu saja, itu sangat memalukan. Tak memiliki harga diri. Dita sangat malu, dengan dirinya sendiri. Orang pasti beranggapan, bahwa ada kesalahan besar yang dia lakukan. Tapi, kesalahan apa? Bukankah, terakhir, mereka dalam keadaan baik saja?
Lantas apa arti makan malam dengan suasana yang begitu romantis itu? Gilang, memesan tempat khusus, di suatu resto di daerah tengah kota Yogyakarta. Sekitarnya begitu privat, dan berhias lilin dan mawar. Bahkan Dita, merasa tersanjung. Dia bagai dalam drama Korea kesukaannya. Sangat sempurna, dari semua kencannya dengan Gilang.
Dia sudah membuatnya mabuk, hingga ke awang. Hanya untuk menjatuhkannya seperti ini.Bahkan obrolan yang mereka lakukan di resto itu pun, sama seperti biasanya. Dimana letak kesalahannya?
“Dit? Dita?”
Tangan Putri terus menggoyang lengan Dita.
“Kamu pesan lagi?”
Putri mulai menaruh curiga terhadap kelakuan Dita.
“Aku Milkshake dan Éclair tadi dua.”
Pelayan itu pun kembali membalikkan badan menuju dapur.
“Kamu tidak pernah bosan ya. Selalu itu yang kamu pesan.” ujar Putri setelah merebahkan punggungnya ke sandaran sofa. Matanya menatap Dita yang mengaduk gelas dengan sedotan.
“Suka, Put. Sulit ke lain hati.”
“Secara tidak langsung, aku gampang ke lain hati, karena suka mencoba menu lain?”
Dita tak bermaksud demikian. Putri meliriknya.
“Astaga! Bukan begitu, maksudku.”
Suara tawa Putri meledak, disertai ekspresi muka Dita yang berubah semakin tak keruan. Bingung.
“Tidak apa Dit. Aku hanya becanda.” jelas Putri kemudian.
Sebenarnya Putri mencoba untuk membuat suasanan sedikit nyaman. Karena Dita justru lebih menyukai untuk melamun. Biasanya, Dita akan menceritakan apa saja. Dita menghembuskan nafas pelan. Lega. Ternyata Putri hanya pura-pura tersinggung.
Dita mengamati raut muka Putri yang nampak tak sedang memikul berat. Tampaknya Dita bisa memberi tahu soal Gilang yang pergi, sekarang.
Mata Putri berulang kali terbelalak, ketika mendengar semua yang dikatakan Dita, dengan seksama. Padahal, apa yang diceritakan oleh Dita belum juga selesai….
=> Terima kasih sudah membaca novel online My Love Destiny Kehilangan Part 1 ini ya. Saya sedang belajar menulis, dan aku akan sangat senang masukan dari teman-teman yang membaca disini, agar semakin semangat terus.
Visited 38 times, 1 visit(s) today
[…] Chapter Kehilangan Part 1 […]