Suatu hari, terbesit pikiran iseng, dan menanyakan segera kepada suami.
” Pi, kalau Ami sudah tidak ada. Api menduda atau menikah lagi?”
Suami sempat terdiam dalam hitungan detik, lalu menggeleng.
” Api tidak tahu, Mi” jawabnya seraya meletakkan anak sulung kami disampingnya.
“Loh kok, tidak tahu?”, tanya saya segera. Penasaran dong.
“Iya, Api ga tau.”
Jawaban yang sama terulang lagi. Saya tertegun. Kami berdua pun diam.
Tak berapa lama suami kembali berujar
“Mi, nanti yang pergi terlebih dahulu, itu aku.”
Kata-kata itu terasa seperti petir di sore hari. Merusak suasana santai kami, di depan televisi. Mata sempat berkaca-kaca.
“Api, tidak boleh ngomong gitu….”
Tiba-tiba saja saya takut. Takut kehilangannya.
” Sekarang, bagaimana kalau pertanyaan Ami, dibalik. Bagaimana kalau Api tidak ada, Ami bagaimana?”
Saya terdiam. Kenapa saya tak berpikir seperti itu?
“Ami pernah kan, dengar Api nyanyi lagu….” Terus lanjutnya…
” …. Jangan kau pergi, kalau mati aku pasti duluan.”
Ehem, sebenarnya lirik lagunya tak tepat seperti itu. Suami langsung terkembang senyumnya.
“Kita jalan-jalan saja yuk, Mi ”
Dia segera beranjak mengambil kunci kendaraan, dan aku segera menggendong masL, mengikutinya dari belakang.
Kejadian sore itu membuat saya berpikir beberapa hari. Saya tidak mau kehilangan suami.Dia suami dan ayah yang baik. Melihat dia bermain dengan anak kami saja menyenangkan hati. Ya,karena saya sendiri tak punya sosok ayah dari sejak di kandungan Mama. Saya mau suami diberikan usia panjang. Terbayang kalau kami akan sampai beruban bersama mengarungi hidup. Sungguh saya tak akan sanggup bila harus hidup tanpanya.