Novel Online My Love Destiny Kehilangan Part 2
Mata Putri berulang kali terbelalak, ketika mendengar semua yang dikatakan Dita, dengan seksama. Padahal, apa yang diceritakan oleh Dita belum juga selesai. Dita terus saja bercerita. Mengeluarkan apa yang selama ini dia pendam. Ini di luar akal sehatnya. Bagaimana seorang laki- laki seperti Gilang, yang menyayangi Dita, bisa menghilang begitu saja. Entah kemana, cinta yang dulu menggebu. Mereka berdua, selama ini terlihat harmonis, tak ada cekcok. Pasangan yang membuat Putri iri. Dia begitu menginginkan kekasih seperti Gilang.
Masih jelas dalam ingatan Putri, ketika Gilang akhirnya menyatakan cinta dan berusaha meyakinkan sahabatnya ini. Tak mudah bagi Dita untuk menjatuhkan pilihan, apalagi soal hati. Meski cinta kasat mata,
bagi teman sebangku di masa sekolah dulu, cinta memerlukan hitungan dan logika. Dia takut terjerembab. Dita tak mau merasakan sakit, akibat salah memilih. Mama yang dia sayangi, ditinggal Papa saat masih kecil. Lari untuk menikahi wanita lain, yang tak lebih baik.
Putri, sahabatnya sendiri, meski terlahir dari keluarga utuh, tapi hubungan percintaannya tak berjalan dengan baik. Kekasihnya justru menikahi perempuan lain, teman kuliahnya. Putri butuh begitu banyak waktu, untuk mengembalikan perasaannya kembali ke titik nol. Bahkan Dita sepertinya belum mendengar Putri bercerita tentang pria kembali.
Dita terus bercerita sambil menatap Putri, mengamati raut wajah yang memiliki kemungkinan akan berubah atau ada semburat kekecewaan, karena mengetahui apa yang Dita tutupi selama ini.
“Maaf ya, Put. Kalau aku baru kasih tahu soal ini.”
Mata Dita menatap nanar. Putri tersenyum lebar, berusaha untuk membesarkan hati Dita yang telah terkikis.
“Tak apa. Aku tahu, kamu membutuhkan waktu, untuk ini.”
Dita senang. Putri adalah sahabat sejati, selalu bisa mengerti keadaannya, tanpa perlu diminta.
“Jadi, Gilang menghilang?”
Dita diam.
“Sejak kapan? Tak ada pesan atau alasan satu pun?“
Mata Putri terbelalak tak percaya, ketika dilihatnya, sahabat baik yang dia sayangi mengangguk. Putri lalu mengulurkan selembar tisu dan menekan pelan pipi Dita yang basah.
“Tidak sama sekali.” tegas Dita disertai gelengan. Mulut Putri serta merta mengerucut. Obrolan terpaksa berhenti, ketika pelayan meletakkan pesanan di atas meja. Keduanya melanjutkan perbincangan ringan, sambil menunggu pelayan itu pergi memunggungi, berlalu dari tempat mereka makan.
“Kamu sudah menghubungi Gilang?”
Putri kembali membuka percakapan dengan topik Gilang. Perempuan berusia dua puluh lima tahun itu, menatap Dita di hadapannya, yang mengerutkan dahi tak mengerti. Mengenai kalimat tanya yang terlontar dari mulut Putri barusan.
“Kamu sudah menelepon atau mencari di tempat yang biasa dia tuju?” lanjut Putri memperjelas pertanyaan sebelumnya.
“Aku sudah menelepon, sudah mendatangi kantornya. Semua nihil.”
Jemari Dita memainkan ujung sedotan itu, mengaduk- aduk Milkshake.
“Kata teman kantornya, Gilang sudah resign. Dan, aku tidak tahu soal itu.”
Putri melongo, tak mempercayai pendengarannya.
“Apa ini namanya, pacar? Tak tahu apa- apa soal keputusan pacarnya sendiri. Justru dari orang lain?” lanjut Dita beberapa saat.
Putri terdiam. Matanya masih menatap lurus. Wajah Dita terlihat tak ada cahaya. Begitu lesu dan sedikit pucat. Dia yakin, Dita sudah beberapa hari tidak mengurus dirinya dengan baik.
“Sebagai perempuan, aku sudah berlebihan, Put.”
“Maksudnya?”
Putri langsung menggeser posisi duduk agar bisa mendengar Dita lebih jelas.
“Aku sudah menghubungi dia, mencari ke semua tempat, yang selalu dia datangi. Tapi, nihil.”
“Tak ada yang tak sia-sia Dit. Kamu punya hak kok, untuk mencari tahu soal dia, dan kemana perginya.”
“Aku perempuan. Apa pantas?”
Putri mengembangkan senyumnya. Dia sempat lupa satu hal. Sahabatnya ini masih memegang teguh adat ketimuran seorang perempuan. Menabukan untuk memulai dulu, sebuah hubungan dengan seorang laki-laki. Dia lebih senang, apabila, pihak lelaki yang melakukan pendekatan dan menyatakan perasaannya terlebih dulu.
“Ini bukan masalah pantas atau tidak pantas. Aku rasa, semua orang, entah perempuan atau laki-laki, punya hak sama soal ini.”
Dita terdiam. Jemari kedua tangannya saling bertautan di pangkuan. Manik hitamnya menyapu dalam kafe, lalu berhenti dan menerawang keluar jendela Kafe Coklat. Semburat senja mulai membayang di langit. Indah. Namun tak membuat suasana hati Dita membaik seketika.
“Bagaimana?” tanya Putri mengejutkan.
Dia paling hobi mencecar berbagai pertanyaan, hingga lawan bicara seringkali menyerah dan mematuhi tanpa sadar. Alasan yang dia pakai selalu bisa diterima oleh logika, termasuk Dita. Buktinya, sekarang Dita hanya bisa diam, dan mengamini perkataan Putri dalam hati.
Justru itu, yang membuat Dita sekarang penuh keraguan yang menyergap. Haruskah, meneruskan mencari tahu tentang Gilang, ke semua tempat yang biasa dia datangi, seperti kafe, kedai, sahabat, teman, rumah, dll, sekali lagi. Dita teringat sesuatu. Teman dan sahabat Gilang yang dia kenal hanya dua orang. Selama ini Gilang hanya mengenalkan mereka saja.
“Idemu boleh juga, Put. Hanya saja, aku butuh keberanian lebih, untuk itu.” tukas Dita, setelah berusaha mencerna semua saran Putri, dan membuat keputusan.
“Demi sebuah kepastian. Dulu, Gilang pasti menukar egonya demi menjadi pacarmu.”
Putri mengedipkan mata, centil, membuat Dita tak bisa menahan ketawa.
“Tahu sendiri, dia kan tipe laki-laki, yang susah buat nyatain cinta. Bahkan dia butuh waktu beberapa jam, hanya untuk bilang kangen.”
Dita terkekeh, kenangannya hadir dan memenuhi ruang pikiran dan hatinya. Dia ingin sekali, Gilang kembali.
“Dit, aku menginap di rumahmu ya. Kangen, lama ga ngobrol bareng sampai pagi.”
Mata Dita mengerjap-ngerjap, saking senang mendengar ucapan Putri, baru saja. Dita segera menganggukkan kepala, seraya tersenyum lebar.
“Tapi ga mengganggu pekerjaanmu, kan?” tanya Dita.
Putri menggeleng. “ Kamu belum membuang bajuku yang di rumah, kan?” tanya Putri, ketika mereka berdua mulai mengemas barang yang masih tergeletak di meja, dan memasukkan ke dalam tas masing-masing.
“Enggak.”
Putri tertawa.
“Paling aku taruh di gudang.”
Tawa Putri terhenti. Dita hanya tertawa melihat ekspresi Putri yang berubah, tak enak dilihat. Namun itu hanya pura-pura. Putri memang pandai sekali berakting. Tak berapa lama, mereka sudah tertawa kembali.
Putri langsung meraih kunci mobil Dita, yang tertinggal di atas meja. Kecepatan tangannya membuat Dita melongo sesaat. Sementara Putri sudah meninggalkan Kafe Coklat, dan Dita yang membayar tagihan di kasir, sambil bersungut-sungut.
Novel Online My Love Destiny berikutnya masuk bab 2….. terima kasih sudah membaca dan meninggalkan komentar ya. 🙂
[…] ← Previous Next → […]