Ketika kebaikan Anda unduh tanpa disangka-sangka. Ini tentu akan membuat kaget. Tapi ceritanya tidak akan seekstrim itu. Dulu saya masih ingat dengan jelas, ketika masih di Solo. Ehm, tidak semua orang yang mengetahui karakter saya ini. Apalagi yang hanya mengenal di media sosial, belum lagi yang tidak intens berteman.
Sudah menjadi kebiasaan saya kalau melihat anak-anak. Saat di Solo, saya berteman
dengan hampir semua anak-anak di SD tempat anak saya sekolah.
Mereka bebas bercerita apa saja. Saya akan mendengarkan. Bahkan hal yang paling rahasia sekali pun. Tentang apa saja.
Saya pernah tanya, apakah mereka ini bercerita dengan orangtuanya? Mereka rata-rata menggeleng. Hampir 100 %. Kecuali anak saya. Saya selalu membiasakan anak bercerita.
Maka saya pun menanyakan kenapa? Seharusnya mereka harus cerita. Bagaimana pun saya adalah orang lain. Bukan keluarga mereka. Jadi orangtua terutama ibu harus tahu.
Benar saja. Ada banyak yang ternyata jadi cerita orangtuanya. Akhirnya orangtuanya jadi mengenal saya. Sampai kalau mereka bertemu saya, sampai menganggukkan kepala dengan takzim.
Nah, setiap mereka pulang, saya selalu mengatakan untuk berhati-hati. Memberikan pesan agar tidak mudah dekat dengan orang yang dikenal. Kalau jalan kaki seringlah menengok ke belakang. Kenapa? Agar mereka bisa waspada.
Seringkali saat saya pulang, sehabis menjemput anak, berpapasan dengan teman anak. Anak ini pulang ke rumah, melewati jalan raya. Menyeberang jalan.
Saya agak seram kalau melihat seperti itu. Atau saat melewati lapangan atau jalan yang jarang motor lewat. Saya pasti segera menghampiri dan mengantarkannya pulang.
Ternyata beberapa kali mengantar, ada anak yang ibunya duduk santai di ruang tamu. Duh, sedih langsung jadinya. Bukan kenapa-kenapa. Kalau santai dan ada motor kenapa tidak dijemput. Jarak antara rumah dengan sekolah terbilang jauh lho. Jalan kaki. Anak ini salah satu dari sekian anak yang sering saya antar. Kabar terakhir, dia tidak naik kelas. Saya merasa nyesek seketika, saat melihat anak itu ketika saya dan anak-anak saya mampir ke sekolah itu. dia tampak minder sekali.
Tak sekali pun saya berharap saat mengantarkan anak pulang, mendengarkan cerita mereka, dll. Saya benar-benar melakukannya karena saya memang suka anak-anak.
Hingga saat pindah ke Jogja, saya melewati hari seperti biasa. Mengantar anak sekolah, mengurus rumah, bekerja dan menjemput mereka. Saya juga akrab dengan anak-anak di sekolah baru ini. Menyapa orangtua ketika berpapasan.
Saat itu suami juga membantu menjemput. Saya tidak tahu anak pulang sekolah dan guru kebetulan tidak mengabari kalau pulang lebih awal. Saya pun santai, mau menjemput. Tahu-tahu anak sudah sampai di rumah. Ada yang mengantar. Ada beberapa kali begitu. Termasuk begitu. Hanya saja berjarak hitungan bulan.
Hingga kemarin saya tertegun saat anak diantar orangtua temannya. Setelah mengatakan terima kasih, saya seperti diingatkan kembali pada apa yang saya lakukan dahulu.
Saya seperti mendapat gambaran waktu dulu. Saya panen kebaikan. Iya benar, saya sedang panen. Allah itu memang luar biasa. Saya tidak mengeluarkan uang. Saya hanya modal bensin dan niat saja. Tak pernah berpikir balasan.
Hari ini berapa yang sudah saya panen? Banyak. Mereka peduli dengan anak saya. Balasan itu tidak langsung Anda dapatkan saat itu juga. Bisa jadi itu ditunda Allah pada saat yang tepat. Seperti sekarang. Saat rumah jauh dari sekolah. Kalau dulu rumah dekat dengan sekolah. Ibarat kata, sesuai dengan kebutuhan.
Ya Alloh memang sering bergurau dan bermain teka-teki. Yang kita lakukan hanyalah berusaha menjadi orang baik. Bagaimana, apakah Anda setuju?
Ambil saripatinya dan buang pikiran kotor untuk mencari celah. Artikel ini murni untuk berbagi, bukan mencari muka. Karena sulit sekali bagi saya untuk memuji bahkan cari muka. Saya tidak akan pernah bisa.
(Visited 53 times, 1 visits today)